Senin, 31 Agustus 2009

kedudukan Al Qur’an dihati para sahabat Rasulullah SAW.

Pertama : para sahabat memandang kebesaran Al Quran dari kebesaran yang menurunkannya, kesempurnaannya dari kesempurnaan yang menurunkannya, mereka memandang bahwa Al Qur’an turun dari Raja, Pemelihara, Sesembahan yang Maha Perkasa, Maha Mengetaui, Maha Kasih Sayang, sebagaimana ditekankan oleh Alloh dalam berbagai permulaan surat :

تنـزيل الكتاب من الله العزيز الحكيم)سورة الزمر، الجاثية، الأحقاف( تنـزيل الكتاب من الله العزيز العليم ) سورة المؤمن(تنـزيل من الرحمن الرحيم )سورة فصلت(كذلك يوحي إليك وإلى الذين من قبلك الله العزيز الحكيم، له ما في السماوات وما في الأرض وهو العلي العظيم ) سورة الشورى(

Dari pandangan ini mereka menerima Al Qur’an dengan perasaan bahagia bercampur perasaan hormat, siap melaksanakan perintah, perasaan cemas dan harapan, serta perasaan kerinduan yang amat dalam. Bagaimana tidak ? karena orang yang membaca Al Qur’an berarti seakan mendapat kehormatan bermunajat dengan Alloh sekaligus seperti seorang prajurit menerima perintah dari atasan dan seorang yang mencari pembimbing mendapat pengarahan dari Dzat yang maha mengetahui. Dan perasaan inilah yang digambarkan oleh Alloh dalam Firmannya :

إن الذين أوتوا العلم من قبله إذا يتلى عليهم يخرون للأذقان سجداً ويقولون سبحان ربنا إن كان وعد ربنا لمفعولاً ويخرون للأذقان ويزيدهم خشوعاً )سورة الإسراء 107-109(

"Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya jika dibacakan atas mereka (ayat-ayat Alloh) mereka tersungkur dengan dagu-dagu mereka dalam kondisi sujud, mereka berkata maha suci Robb kami sungguh janji Robb kami pasti terlaksana mereka tersungkur dengan dagu-dagu mereka dalam kondisi menangis dan menambahi mereka kekhkusu’an”.

Perasaan di ataslah yang menyebabkan Umu Aiman menangis ketika teringat akan wafatnya Rasululloh. Suatu saat Abu Bakar dan Umar berkunjung kepada ibu asuh Rasulalloh itu dan ketika mereka duduk, menagislah Ummu Aiman karena teringat wafatnya Rasulalloh, maka berkatalah Abu Bakar dan Umar, “Kenapa anda menangis sementara Rasululloh mendapatkan tempat yang mulia” ? Ummu Aiman menjawab, "Saya menangis bukan karena meninggalnya beliau melainkan karena terputusnya wahyu Alloh yang datang kepada beliau pada pagi dan petang hari", maka saat itu pula meledaklah tangisan mereka bertiga .

Perasaan diataslah yang menyebabkan para sahabat membaca dan menerima Al Qur’an untuk dilaksanakan secara spontan tanpa menunggu-nunggu dan tanpa sedikit protes walaupun hal itu bertentangan dengan kebiasaan mereka, tapi mereka bisa menundukkan perasaan mereka dengan cinta mereka kepada Alloh.

Ketika turun perintah untuk memakai jilbab pada surat Al Ahzab : 59, malam hari Rasulalloh menyampaikan ayat itu kepada para sahabat, pagi harinya para istri sahabat sudah memakai jilbab semuanya, bahkan `Aisyah mengatakan, "Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshor mereka diperintah pakai hijab pada malam hari sementara pada paginya mereka sudah memakainya bahkan ada yang merobek gordeng / kelambu mereka untuk dipakai jilbab".

Ketika diharamkannya khomer dan ayat itu sampai kepada mereka, saat itu juga langsung mereka membuang simpanan khomernya dan menuang apa yang masih di tangannya.

Salah satu rahasia keajaiban para sahabat dalam berinteraksi dengan Al Qur’an adalah keimanan mereka kepada Alloh, surga dan neraka-Nya, kepada janji-Nya sehingga mereka melakukan sesuatu yang apabila dilihat oleh orang yang tak memahami latar belakang ini akan sulit menafsirkannya.

Seperti ketika mereka membaca tentang janji Allah untuk orang-orang yang berjihad karena cinta kepada Allah, seorang sahabat yang bernama Umair bin Hamam yang sedang memakan kurma bertanya: wahai Rasululloh, “Dimana saya kalau saya mati dalam perang ini ? Rasululloh menjawab "Di sorga", berkatalah Umair : "Sungguh menunggu waktu masuk surga sampai menghabiskan makan kurma tujuh biji ini adalah sangat lama”, dan ahirnya dibuanglah sisa kurma yang belum dimakan dan langsung maju perang sampai menemui syahidnya.

Kondisi keimanan yang tinggi ini menjadikan episode kehidupan mereka menjadi bagian dari yang diceritakan oleh Allah dalam Al Qur’an, hal itu seperti perhatian orang-orang Anshor terhadap orang-orang muhajirin atau perhatian mereka terhadap orang-orang yang lemah, seperti yang Allah ceritakan dalam surat al Hasyr dimana Rasulullah kedatangan tamu dan beliau tidak memiliki sesuatu untuk menjamunya, akhirnya beliau tawarkan hal itu kepada sahabatnya siapa yang bersedia membawa tamu beliau, dengan sepontan salah satu sahabat bersedia, tetapi ketika sampai rumah ternyata istrinya mengatakan bahwa tidak ada persediaan makanan kecuali makan malam anaknya, maka sahabat tadi memerintahkan istrinya untuk mengeluarkan makanan tadi untuk tamunya dan mengeluarkan dua piring dan segera mematikan lampu ketika tamunya sedang makan, tamunya makan dan tuan rumah menampakkan seakan-akan makan agar dia bisa makan dengan enak, ketika sampai pagi hari sahabat tadi bertemu dengan rasul dan Rasulullah mengatakan kalau Allah takjub dengan apa dia lakukan maka turunlah firman Alloh surat al Hasyr ayat:9.

Kedua : Rasululloh dan para sahabat memandang Al Qur’an sebagai obat bagi segala penyakit hati dan ketika mereka membaca Al Quran yang berbicara tentang segala kelemahan hati, penyakit hati, mereka tidaklah merasa tersinggung bahkan mereka berusaha mengoreksi hati mereka dan membersihkan segala sifat yang dicela oleh Al Qur’an dan berusaha bertaubat dari apa yang dikatakan buruk oleh Al Qur’an .

Maka sudah pantaslah ketika Al Qur’an banyak menceritakan sifat-sifat munafiqin mulai dari malas sholat, sedikit berdzikir, pengecut, mengambil orang kafir sebagai pemimpin dan lain-lainnya, para sahabat segera mengoreksi hati mereka dan mencari obatnya walaupun mereka tidak dihinggapi penyakit itu, berkatalah Abdulloh ibnu Mulaikah :

أدركت سبعين من أصحاب محمد كلهم يخافون من النفاق.

“Aku mendapatkan tujuh puluh dari sahabat nabi, mereka semua takut kalau terkena penyakit nifaq”.

Ketika sahabat Handholah merasa adanya fluktuasi imannya segeralah ia datang kepada Rasulalloh dengan mengatakan “Ya Rasulalloh Handholah telah munafik”, Rasululullah bertanya : Kenapa ? Handlolah menjawab: “Wahai Rasululloh kalau saya di samping engkau dan engkau ingatkan kami dengan sorga dan neraka, jadilah sorga dan neraka seakan-akan jelas dimata kami, tapi jika kami pulang dan bergaul dengan anak istri serta sibuk dengan harta kami, kami banyak lupa, maka Rasulalloh bersabda, “Wahai Handholah kalau kalian berada dalam kondisi seperti itu (seakan melihat sorga dan neraka) terus menerus pastilah para malaikat menyalami kalian di jalan-jalan kalian”.

Dari sensitifitas perasaan Handholah dalam berinteraksi dengan Al Qur’an, ia bisa mengalahkan pe-rasaan ingin dekat dengan istrinya pada malam pertama dan ditinggalkannya untuk berjihad sampai syahid padahal ia belum sempat mandi junub, sehingga Rasululloh bersabda bahwa ia dimandikan oleh para malaikat.

Ketiga : Para sahabat memandang bahwa Al Qur’an adalah nasehat dari Dzat yang amat sayang kepada mereka yang sangat perlu didengar yang berarti mereka sangat menyadari kalau mereka bisa salah, tapi akan segera kembali kepada kebenaran manakala ada teguran dari Al Qur’an.

Ma’qil bin Yasar pernah menikahkan adik perempuannya dengan salah seorang sahabat, tapi kemudian dicerainya sampai habis masa iddahnya, kemudian bekas suami tadi melamar lagi dan karena Ma’qil sedang marah beliau tolak lamarannya dan bertekat tidak akan mengawinkannya, padahal adiknya juga masih cinta dengan bekas suaminya serta ingin kembali kepadanya. Dengan kejadian ini Allah menurunkan ayat :

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ) (البقرة:232)

Artinya :" apabila kamu manthalak isteri-isterimu lalu habis iddahnya ,maka janganlah kamu ( para wali ) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya ,apabila telah terdapat kerelaan dintara mereka dengan cara yang ma'ruf ,itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Alloh dan hari kemudian .Itu lebih baik bagimu dan lebih suci .Alloh mengetahui sedang kamu tidak mengetahui ".

Setelah turun ayat ini Ma’qil langsung menikahkan adiknya lagi dengan sahabat mantan suamiya.

Sahabat hidup dengan misi, “Risalah menyelamatkan seluruh manusia dari perbudakan manusia untuk manusia menuju penghambaan Allah yang Esa dan mengeluarkan mereka dari kedhaliman sistim manusia menuju keadilan Islam dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akherat”, dan pastilah kaum yang membawa misi demikian ada pendukung dan musuhnya, maka mereka menjadikan Al Qur’an sebagai pembimbing untuk mengetahui musuh-musuh Alloh, dan musuh mereka, siapa wali-wali mereka dan wali-wali Alloh dan mereka memperlakukan manusia sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Alloh, mereka cinta terhadap ayah, anak, istri, serta kerabat mereka. Tetapi jika yang dicintai itu memusuhi Alloh dan Rasul-Nya serta membenci Islam, maka mereka segera merubah sikapnya dengan hanya memihak Alloh dan mencabut perasaan cintanya kepada selain Allah, Allah berfirman :

“Engkau tidak akan mendapatkan kaum yang beriman kepada Alloh dan hari akhir mencintai orang-orang yang membangkang kepada Alloh dan rasul-Nya, walaupun mereka itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau saudara–saudara mereka atau kerabat-kerabat mereka, mereka itulah orang yang Alloh tetapkan dihati mereka keimanan”.(al Mujadalah:22)

Ayat ini turun berkenaan dengan Abu Ubaidah bin Jaroh ketika membunuh ayahnya di perang Badar karena ayahnya bersama pasukan kuffar Quraisy .

Keempat : Para sahabat memandang bahwa seluruh alam semesta dan diri mereka adalah ciptaan Alloh dan tidak mungkin membudidayakan alam semesta serta mengatur mereka kecuali Dzat yang menciptakannya sehingga mereka meyakini bahwa keimanannya menuntut untuk menjadikan Al Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak dipisahkan antara satu sama lainnya, mereka men-jadikan Al Quran sebagai pedoman hidup mereka dan mereka sangat sensitif terhadap usaha-usaha yang akan memisahkan satu bagian sistim Islam dengan bagian yang lainnya.

Pantaslah kalau Kholifah Abu Bakar berpidato ketika banyak orang yang murtad dan tidak mau membayar zakat, dengan mengatakan :

أينقص الدين وأنا حي !! والله لو منعوني عقالاً كانوا يؤدونه إلى رسول الله لقاتلتهم على منعه رواه مسلم .

“Apakah agama ini akan dikurangi padahal saya masih hidup, demi Alloh kalau mereka menghalangi tali yang dulu mereka serahkan kepada Rasulalloh pastilah aku perangi mereka atas keengganannya”. Diriwayatkan oleh Muslim

Keuniversalan dan keintegralan Al Qur’an ini digambarkan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib dalam ucapannya :

هو كتاب الله فيه نبأ من قبلكم ،وخبر ما بعدكم وحكم ما بينكم هو الفصل ليس بالهزل من تركه من جبار قصمه الله ومن ابتغى الهدى في غيره أضله الله وهو حبل الله المتين وهو الذكر الحكيم وهو الصراط المستقيم وهو الذي لا تزيغ به الأهواء، ولا تلتبس به الألسنة ولا يشبع منه العلماء ولا يخلق عن كثرة الردّ ولا تنقضي عجائبه وهو الذي لم تنته الجن إذا سمعته حتى قالوا )إنا سمعنا قرآناً عجباً، يهدى إلى الرشد فآمنا به ( من قال به صدق ومن عمل به أجر ومن حكم به عدل ومن دعا إليه هدي إلى صراط مستقيم .

“Dia adalah Kitabulloh yang di dalamnya ada berita orang sebelum kalian, berita apa yang akan terjadi setelah kalian, hukum diantara kalian, dia adalah keputusan yang serius bukan main-main, barang siapa meninggalkannya dengan kesombongan pasti dihancurkan oleh Alloh , barang siapa mencari petunjuk dengan selainnya pasti disesatkan oleh Alloh, dialah tali Alloh yang kokoh, dialah peringatan yang bijaksana, dialah jalan yang lurus, dialah yang dengannya hawa nafsu tidak menyeleweng, dan tidak akan rancu dengannya lisan, dan tidak para ulama tidak pernah kenyang dari (membacanya, mempelajarinya), tak akan usang karena diulang-ulang, dan tidak habis keajaibannya, dan dialah yang jin tak henti-hentinya untuk mendengarnya sehingga dia mengatakan; “Sungguh kami mendengar Al- Qur’an yang penuh keajaiban, menunjukkan ke jalan lurus, maka kami beriman dengannya”. Barang siapa yang berkata dengannya pasti benar, barang siapa beramal dengannya pasti diberi pahala, barang siapa menghukumi dengannya pastilah adil, barang siapa mengajak kepadanya pasti ditunjuki kejalan yang lurus.

Kelima : Para sahabat memandang bahwa Al Qur`an adalah kasih sayang dari Alloh, maka mereka melihat bahwa seluruh isi Al Quran baik aqidahnya, hukumnya, perintahnya, larangannya, berita–beritanya adalah untuk kebaikan manusia.

maka mereka menerimanya dengan senang hati, adapun yang menolak hukum Islam pada dasarnya adalah lebih memihak para pemeras orang lemah dari pada memihak orang yang diperas, lebih sayang dengan para pembunuh dari pada yang dibunuh atau lebih memihak para penggarong dan pemerkosa dari pada yang di garong dan diperkosa, lebih memihak musuh Alloh dari pada memihak Alloh, dan secara implisit menuduh Alloh keras dan dholim, orang yang semacam ini perlu intropeksi akan hakekat keimanannya.

Selasa, 02 Juni 2009

URGENSI NIAT IKHLASH DALAM SETIAP AMAL PERBUATAN

عَن أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
.رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري و أبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة

Dari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh ‘Umar bin al-Khaththāb rda, dia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya dan setiap orang pun (akan dibalas) sesuai dengan yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang-siapa yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut” (HR. al-Bukhāriy dan Muslim)


Catatan Penting:
1. Diriwayatkan oleh al-Bukhāriy, Mus-lim, Ashhāb as-Sunan dan lainnya.
Pada mulanya diriwayatkan secara tafarrud (menyendiri, hadits ahad), yaitu hanya diriwayatkan oleh ‘Umar, kemudian oleh ‘Alqamah bin Abī Waqqāsh, kemudian oleh Muhammad bin Ibrāhīm at-Taymiy, kemudian oleh Yahyā bin Sa’īd al-Anshāriy, kemudian setelah itu baru diriwayatkan oleh banyak perawi.
Hadits ini termasuk hadits sangat mengagumkan yang tercantum dalam Shahīh al-Bukhāriy sekaligus sebagai hadits pengantar. Demikian juga beliau menutup kitabnya dengan hadits yang sangat mengagumkan pula, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abū Hurayrah rda:
(( كَلِمَتَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ... ))
“Ada 2 (dua) kalimat yang disukai oleh al-Rahmān, yaitu…”
2. Imam an-Nawawiy memulai ‘Arba’īn-nya dengan hadits ini.
Banyak pula di antara para ulama yang memulai kitabnya dengan mencantumkan hadits ini, di antaranya adalah Imam al-Bukhāriy dalam Shāhih-nya, ‘Abd al-Ghaniy al-Maqdisiy dalam ‘Umdah al-Ahkam, al-Baghawiy dalam Syarh as-Sunnah dan Ma-shābīh as-Sunnah, dan as-Suyūthiy dalam al-Jāmi’ ash-Shaghīr.
Imam an-Nawawiy dalam bagian awal kitab al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab (1/35) mengemukakan sebuah pasal yang mengupas hadits ini, kemudian berkata:
“Pasal tentang ikhlash, jujur dan menghadirkan niat ketika mengerjakan setiap amal perbuatan, yang nampak nyata dan terlihat maupun yang samar tersembunyi. Kemudian beliau mengemukakan 3 (tiga) ayat al-Qur’an, lalu hadits “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya”, dengan memberikan komentar: “Hadits ini telah disepakati keshahihan dan keagungan kedudukannya. Hadits ini merupakan salah satu poros dan pilar keimanan, bahkan sebagai rukun utamanya”
Imam asy-Syāfi’iy berkata:
“Hadits ini merangkum 70 (tujuh puluh) bab fiqih”, dan di lain waktu beliau berkata:
“Hadits ini menghimpun sepertiga ilmu”, dan ungkapan senada seperti ini telah dikemukakan pula oleh para ulama lainnya.
Hadits ini adalah salah satu hadits yang menjadi pilar agama, meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menyebutkan bilangan hadits-hadits tersebut. Di antara mereka ada yang berpendapat 3 (tiga) hadits, 4 (empat) hadits, 2 (dua) hadits dan ada pula yang menyatakan hanya 1 (satu) hadits saja. Dan saya telah menghimpun hadits ini berjumlah 40 (empat puluh)-an hadits. Barangsiapa yang ingin mengetahui ajaran agamanya, maka hadits-hadits tersebut telah mencukupinya, karena semuanya adalah hadits-hadits shahih dan sekaligus sebagai hadits-hadits yang menghimpun kaedah-kaedah Islam, baik dalam ushūl (pokok) maupun furū’ (cabang), tentang zuhud, adab, akhlak dan lainnya. Dalam kitab saya, saya memulainya de-ngan hadits ini karena ingin meneladani para imam salaf terdahulu. Penghulu para imam ahli hadits, Imam Abū ‘Abdillah al-Bukhāriy, memulai Shāhih-nya dengan hadits ini. Dan diriwayatkan bahwa para imam ahli hadits sangat menyenangi untuk memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini. Tujuannya adalah untuk mengingatkan para pencari ilmu agar senantiasa meluruskan dan membenarkan niatnya, yaitu hanya untuk mengharapkan wajah Allah swt dalam setiap amal perbuatannya, yang nampak nyata maupun yang tersembunyi. Diriwayatkan bahwa Imam Abū Sa’īd ‘Abdur Rahmān bin Mahdiy berkata:
“Seandainya saya menulis sebuah kitab, maka dalam setiap babnya akan saya cantumkan hadits ini”, dan diriwayatkan pula bahwa beliau berkata:
“Barangsiapa yang ingin menulis sebuah kitab, maka hendaknya ia memulainya dengan hadits ini”
Imam Abū Sulaymān Hamd bin Muhammad bin Ibrāhīm al-Khaththābiy asy-Syāfi’iy dalam kitab al-Ma’ālim-nya berkata:
“Guru-guru kami terdahulu sangat menyukai untuk memulai berbagai pembahasan tentang masalah agama dengan hadits ini, karena hadits ini berkaitan erat dengan berbagai persoalan”
Ibnu Rajab dalam Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Hikam (1/61) berkata:
“Para ulama telah berkonsensus tentang keshahihan hadits ini dan menerimanya dengan bulat hati. Bahkan al-Bukhāriy memulai Shahīh-nya dengan hadits ini dan menjadikannya sebagai pengantar. Hal ini memberikan isyarat bahwa semua amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencapai wajah Allah adalah amal perbuatan yang batil dan tidak akan bermanfaat sama sekali, baik di dunia maupun di akhirat”
3. Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi menjadi pilar agama. Diriwayatkan bahwa Imam al-Syāfi’iy berkata: “Hadits ini merangkum sepertiga ilmu, dan merangkum 70 (tujuh puluh) bab fiqih” Dan diriwayatkan pula bahwa Imam Ahmad berkata:
“Pilar agama Islam terangkum dalam 3 (tiga) hadits, yaitu:
• Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung
pada niatnya…”,
• Hadits ‘Āysyah “Barangsiapa yang mengada-adakan amalan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka amalan tersebut pasti tertolak”,
• Hadits an-Nu’mān bin Basyīr “Sesung-guhnya hal yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas…”.
Dan ketika mengomentari pendapat Imam Ahmad, beliau (1/71) berkata:
“Bahwa seluruh pembahasan masalah agama bertumpu pada prinsip melaksanakan perintah, meninggalkan larangan dan tidak menjerumuskan diri mengikuti yang samar, dan hal ini akan sempurna apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
• Zhāhir amal (yang terlihat nyata) harus sesuai dengan as-Sunnah, dan hal ini terangkum dalam hadits ‘Āysyah “Barangsiapa yang mengada-adakan amalan dalam urusan (agama) kami ini yang bu-kan (berasal) darinya, maka amalan tersebut pasti tertolak”
• Bāthin amal (dalam hati) harus dimaksudkan hanya untuk mengharap wajah Allah swt semata. Dan hal ini terangkum dalam hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya””
Ibnu Rajab (1/61-63) ketika mengemukakan berbagai komentar para ulama tentang hadits-hadits yang menjadi dasar pijakan Islam, beliau berkata:
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa hadits-hadits tersebut berjumlah 2 (dua) hadits, 4 (empat) hadits, dan ada pula yang menyatakan ada 5 (lima) hadits saja. Di antara hadits-hadits yang mereka kemukakan selain 3 (tiga) hadits yang telah disebutkan di atas, adalah:
• Hadits “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari…….”,
• Hadits “Di antara tanda baiknya keislam-an seseorang adalah ketika dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya”,
• Hadits “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Baik, dan tidak akan menerima kecuali yang baik…”,
• Hadits “Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”,
• Hadits “Apa yang aku larang bagi kalian hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian”,
• Hadits “Zuhudlah terhadap dunia, maka engkau akan dicintai Allah. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada orang lain, maka engkau akan dicintai orang”, dan
• Hadits “Agama Islam adalah nasehat…”.
4. “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya”, Innamā adalah huruf al-hashr (membatasi apa yang disebutkan setelahnya), adapun alīf lām dalam al-a’māl adalah untuk menunjukkan hal yang berkaitan khusus dengan masalah taqarrub (taat) kepada Allah swt.
Namun ada pula pendapat yang menyatakan bahwa alīf lām tersebut adalah untuk menunjukkan setiap amalan yang bersifat umum.
Oleh karena itu, apabila amal perbuatan tersebut termasuk bentuk taqarrub kepada Allah swt, maka pelakunya pasti akan mendapatkan pahala kebaikan. Dan apabila amal perbuatan tersebut termasuk adat kebiasaan, seperti makan, minum dan tidur, apabila pelakunya ingin mendapatkan pahala kebaikan, maka hendaknya dia meniatkan amal kebiasaan tersebut dalam rangka menunjang ketaatan kepada Allah. Alif lam dalam an-niyyāt adalah pengganti dari dhamīr (kata ganti) hā, yaitu bahwa al-a’māl bi niyyātihā. an-Niyyah atau niat secara morfologis berarti al-qashd (maksud, kehendak atau tujuan), yang berfungsi sebagai pembeda antara beragam jenis ibadah, seperti pembeda antara fardhu yang satu dengan jenis fardhu lainnya, atau antara yang fardhu dengan nāfilah (sunnah), dan pembeda antara ibadah dengan adat kebiasaan, seperti mandi ibadah apabila diniatkan untuk menghilangkan junūb dengan mandi kebiasaan yang hanya bertujuan untuk menyegarkan dan membersihkan badan.
5. “Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya”, maka Ibnu Rajab (1/65) berkata:
“Ungkapan ini merupakan penjelasan yang menerangkan bahwa pelaku perbuatan akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Apabila niatnya baik, maka pahalanya adalah kebaikan. Dan apabila niatnya jelek, maka pahalanya adalah kejelekan (dosa) pula. Ungkapan ini bukan merupakan pengulangan dari ungkapan pertama (sebelumnya), karena ungkapan pertama hanya menunjukkan bahwa kebaikan atau kejelekan suatu amal perbuatan adalah sesuai dengan niat yang dikehendaki. Sedangkan ungkapan kedua menunjukkan bahwa pahala pelaku amal perbuatan adalah tergantung kepada niat baiknya, demikian pula dosanya adalah dikarenakan niatnya yang jelek. Dan bisa jadi niatnya adalah niat yang mubah, maka amalnyapun bernilai mubah, tidak bernilai kebaikan dan tidak juga bernilai dosa. Nilai suatu amal perbuatan, baik, buruk atau mubah tergantung kepada niat yang menjadi pendorong adanya amal perbuatan tersebut. Demikian pula halnya dengan pahala, dosa dan keselamatan pelaku amal perbuatan, maka tergantung kepada niatnya, karena hanya dengan niatlah suatu amal perbuatan dapat dinilai sebagai amal yang baik, jelek ataupun mubah”
6. “Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”, hijrah berasal dari akar kata al-hajr, yang berarti at-tark (meninggal-kan). Oleh karena itu, hijrah adalah meninggalkan negeri yang diliputi ketakutan menuju negeri yang aman tenteram, seperti hijrah dari Mekkah ke Habasyah. Atau hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam, seperti hijrah dari Mekkah ke Madinah, sehingga hijrah tersebut berakhir manakala Mekkah telah berhasil ditaklukkan. Hijrah dapat pula berarti hijrah dari negeri syirik ke negeri Islam, dan hijrah ini akan tetap berlaku hingga datangnya hari kiamat.
“Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya”, dalam ungkapan ini terhimpun antara sesuatu yang menjadi syarat dengan jawabannya, padahal hukum asalnya adalah harus terpisah. Maka maknanya adalah: “Barangsiapa yang niat dan maksud hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka pahala hijrahnya ada di sisi Allah dan Rasul-Nya”, dari sini jelaslah bahwa antara syarat dan jawabannya ternyata kalimatnya terpisah.
Ibnu Rajab (1/72) berkata:
“Ketika Rasulullah menjelaskan bahwa setiap amal perbuatan sesuai dengan niatnya, dan bahwa hasil jerih-payah seseorang dalam mengerjakan amal perbuatan adalah berdarkan niatnya, baik atau buruknya, maka kedua ungkapan berikut merupakan ungkapan umum lagi menyeluruh, bahwa amal apapun tidak akan pernah lepas darinya (yaitu niat). Oleh karena itu, maka kemudian beliau menyebutkan salah satu contoh amal perbuatan yang memiliki bentuk yang sama, namun mempunyai hasil yang berbeda, sesuai dengan baik dan buruknya niat amal tersebut. Sehingga seakan-akan Rasullah bersabda bahwa “Setiap amal perbuatan mempunyai hasil yang sama persis dengan contoh yang ada dalam permisalan””
Dan beliau (1/73) berkata:
“Dalam hal ini Rasulullah menjelaskan bahwa hijrah mempunyai pahala yang berbeda-beda, sesuai perbedan niat dan maksudnya. Barangsiapa yang hijrah ke negeri Islam karena cinta Allah dan Rasul-Nya, atau karena ingin mempelajari agama Islam, dan membela agama-Nya, ketika di negeri syirik dia tidak sanggup mengerjakannya, maka dia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya secara hakiki. Dan cukuplah ia untuk mendapatkan kebanggaan dan kemuliaan manakala ia mendapatkan pahala hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya, yaitu diterima di sisi Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, jawaban dari syarat yang disebutkan akhirnya diulang dengan kata syarat itu sendiri. Hal ini dikarenakan tujuan yang ingin dicapainya tiada lain adalah tujuan tertingginya, yaitu demi kebaikan dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang hijrahnya dari negeri syirik ke negeri Islam hanya untuk mencari kepentingan duniawi yang ingin diraihnya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuannya tersebut. Niat pertama adalah niat seorang pedagang, dan niat kedua adalah niat seorang yang hendak melamar kekasihnya, maka keduanya tidaklah dapat disebut sebagai seorang muhājir. Di dalam ungkapan “…maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”, adalah ungkapan penghinaan dan pendiskreditan terhadap tujuan duniawi yang menjadi incarannya, karena Rasulullah tidak menyebutkan kalimat yang menjadi syaratnya. Di samping itu, hal ini berarti bahwa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah satu dan tidak akan terbagi-bagi, karena ungkapan jawabnya menggunakan ungkapan yang sama dengan ungkapan syarat. Hijrah karena kepentingan duniawi tidak ada batasnya, karena seseorang yang berhijrah karena kepentingan duniawi bisa jadi karena hendak meraih kepentingan yang dibolehkan, atau pun kepentingan duniawi yang diharamkan. Oleh karena itu jenis kepentingan duniawi yang menjadi tujuan hijrah tidak ada batasnya, maka Rasulullah bersabda dengan ungkapan “…maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”, yaitu hal apapun yang menjadi tujuan hijrahnya”
7. Ibnu Rajab (1/74-75) berkata:
“Sudah sangat terkenal bahwa kisah tentang seorang laki-laki yang berhijrah karena hendak menikah Ummu Qays adalah yang menjadi penyebab sabda Rasulullah Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya…”. Hal ini bahkan banyak disebutkan oleh para ulama khalaf dalam buku-bukunya, namun saya berpendapat bahwa kisah ini tidak memiliki landasan yang benar. Wallahu A’lam”
8. Tempat niat ada di dalam hati, maka melafazhkannya termasuk perbuatan bid’ah.
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk melafazkan niat dalam setiap amal ketaatan, apapun bentuknya, kecuali dalam haji dan ‘umrah. Karena ketika haji atau ‘umrah, seseorang yang mengucapkan talbiyyah harus meniatkan tujuannya, apakah qirān, ifrād ataupun tamattu’, dengan mengucapkan “Labbayk ‘Umratan wa Haj-jan” atau “Labbayk Hajjan” atau “Labbayk ‘Umratan”, karena hal ini ada dasar hadits-nya, se-dangkan amal ibadah lainnya tidak ada penjelasannya.

Faedah Hadits:
1. Tidak akan pernah ada amal perbuatan kecuali disertai dengan niat.
2. Amal perbuatan tergantung niatnya.
3. Pahala seseorang yang mengerjakan suatu amal perbuatan sesuai dengan niatnya.
4. Seorang ‘ālim (guru, ustadz atau pendidik) diperbolehkan memberikan contoh ketika menerangkan dan menjelaskan.
5. Keutamaan hijrah, karena Rasulullah saw menjadikannya sebagai contoh dalam permisalan.
Dalam Shahih Muslim (No. 192), dari ‘Amr bin al-‘Āsh rda, bahwa Rasulullah saw bersabda:
(( أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اْلإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ؟ ))
“Tidakkah engkau mengetahui bahwa Islam menghapuskan dosa-dosa sebelumnya? Dan engkau pun mengetahui bahwa Hijrah dan haji juga akan menghapuskan dosa-dosa yang sebelumnya?”
6. Seseorang akan mendapatkan pahala kebaikan, atau dosa, atau terjerumus dalam perbuatan haram adalah dikarenakan niatnya.
7. Suatu amal perbuatan tergantung wasīlahnya. Maka sesuatu yang mubāh dapat menjadi suatu bentuk ketaatan dikarenakan niat seseorang, karena ketika mengerjakannya diniatkan untuk memperoleh kebaikan, seperti makan dan minum, apabila diniatkan untuk memperkuat diri dalam berbuat taat.
8. Suatu amal perbuatan dapat menjadi kebaikan yang berpahala bagi seseorang, namun dapat pula menjadi dosa yang diharamkan bagi seseorang yang lain, adalah dikarenakan oleh niatnya.

Senin, 20 April 2009

SAUDARIKU, Inilah Hakikat Dirimu, Maka Tunaikanlah Kewajibanmu...!

Saudariku...............................................................

Walaupun kaummu, yaitu kaum wanita dan kaum lelaki adalah sama-sama insan ciptaan Allah swt, namun sesungguhnya mereka memiliki banyak sekali perbedaan. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan fisik, psikis maupun perbedaan dalam taklīf (tugas dan tanggung jawab) syar’i. Dan perbedaan antara laki-laki dan wanita adalah perbedaan yang sesuai dengan takdir (realita), syar’i, dan dapat dibuktikan dengan nalar atau rasio. Allah swt berfirman:

“dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan”

[QS. an-Najm (53): 45]

Dalam konteks agama secara umum, keduanya sama-sama diperintahkan Allah swt untuk memakmurkan dunia dengan beribadah hanya kepada-Nya, tanpa dibeda-bedakan, baik dalam; tauhid dan keyakinan, hakikat keimanan, penyerahan diri kepada Allah swt, pahala dan siksaan, targhīb (anjuran) dan tarhīb (ancaman) secara global, maupun dalam fadhā’il (keutamaan dan kemuliaan). Demikian pula halnya dalam pemberian syari’at secara umum, baik dalam hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya, semuanya sama.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [QS. adz-Dzāriyāt (51): 56]

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [QS. an-Nahl (16): 97]

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” [QS. an-Nisā (4): 124]

Namun, Allah swt telah memberikan ketentuan takdir-Nya bahwa laki-laki tidak sama dengan wanita, baik dalam khilqah (fisik), jibillah (psikis atau kejiwaan) dan dalam perangai atau tabiatnya. Maka sesuai penciptaannya, laki-laki memiliki kesempurrnaan fisik dan psikis, sedangkan wanita lebih lemah dalam penciptaannya, seperti harus mengalami haidh, kehamilan, kelahiran, menyusui dan mengurus anak susuannya, serta untuk mengurus pendidikan anak-anaknya sebagai generasi penerus di masa mendatang. Oleh karena itu, maka wanita diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam as, yang merupakan bagian darinya sehingga akan senantiasa mengikutinya dan berfungsi sebagai penggembira (penyejuk) baginya. Adapun laki-laki, maka dia dipercaya sebagai pemenuh kebutuhan kaum wanita, menjaganya, serta untuk memberi nafkah kepadanya dan kepada anak mereka berdua. Perbedaan penciptaan ini pada akhirnya menimbulkan konsekwensi adanya perbedaan kekuatan dan kemampuan fisik, rasio, fikiran, perasaan, kemauan, dan dalam berbagai hal lainnya.

Perbedaan jenis keduanyalah yang pada akhirnya dijadikan ukuran barometer dalam kebanyakan hukum syari’at yang diberlakukan kepada keduanya. Allah swt menetapkan adanya perbedaan, kelebihan dan kekurangan di antara keduanya dalam pemberian syari’at serta dalam tugas dan tanggung jawab mereka dalam kehidupan, tiada lain adalah agar saling melengkapi dan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing.

Perbedaan antara laki-laki dan wanita ini merupakan irādah (kehendak) Allah swt yang bersifat kawniyah qadariyah (takdir alamiah) dalam penciptaan dan penyusunan (fisik dan psikis) serta dalam berbagai potensi dan kemampuan yang dianugerahkan-Nya. Sedangkan perbedaan lainnya yang berhubungan dengan syari’at beragama merupakan irādah Allah swt yang bersifat diniyyah syar’iyah (tuntutan syari’at), yang berkenaan dengan perintah, hukum dan pemberlakuan syari’at kepadanya. Namun yang pasti adalah bahwa kedua kehendak Allah swt tersebut sangat sesuai dengan kemaslahatan manusia selaku hamba-Nya yang bertugas memakmurkan alam, menjaga ketertiban hidup individu, membangun rumah, serta untuk hidup berkelompok dan membentuk komunitas sosial.

Sebagian Kekhususan Laki-laki dan Perempuan

Di antara hukum-hukum khusus yang diperuntukan bagi laki-laki adalah bahwa mereka bertanggung jawab terhadap sebuah rumah (tangga), dengan memberikan perlindungan, perhatian dan pemeliharaan terhadap berbagai kehormatannya, serta berkewajiban untuk menjaga atau memproteksi rumah tangga tersebut dari berbagai kehinaan dan mara bahaya yang mengancamnya. Mereka pun juga bertanggung jawab untuk menghidupi dan memberi nafkah kepada keluarganya.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…” [QS. an-Nisā’ (4): 34]

Kekhususan laki-laki lainnya adalah bahwa kenabian dan kerasulan hanya dianugerahkan kepada mereka, tidak kepada wanita.

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri…” [QS. Yusuf (12): 109]

Para ahli tafsir berpendapat bahwa “Allah tidak akan mengutus seorang nabipun dari kaum wanita, malaikat, jin ataupun dari orang badui”.

Perwalian yang bersifat umum beserta perangkatnya, seperti kehakiman, administrasi dan sebagainya; serta berbagai perwalian lainnya, seperti perwalian dalam pernikahan, semuanya dilimpahkan hanya kepada laki-laki, bukan wanita.

Demikian halnya dalam ibadah kepada Allah swt, maka laki-laki juga memiliki banyak kekhususan yang tidak diperuntukan bagi kaum wanita, seperti kewajiban jihad, shalat Jum’at, shalat berjamaah, adzan, iqamah dan lain sebagainya. Begitu pula dengan wewenang menjatuhkan thalāq (cerai) juga tergantung keputusan dari seorang suami, bukan istri. Dan seorang anak pun harus dinisbatkan kepada ayahnya, bukan kepada ibunya.

Selain itu, kaum laki-laki juga dilipat gandakan bagiannya dibandingkan wanita, baik dalam warisan, diyat (sanksi), persaksian, pembebasan budak maupun dalam ‘aqīqah.

Sedangkan hukum-hukum khusus yang diperuntukan Allah swt bagi kaum wanitu pun banyak juga jumlahnya. Di antaranya ada yang berhubungan dengan masalah ibadah, mu’amalah, pernikahan, serta dalam pengambilan keputusan atau kehakiman dan hal-hal lainnya, yang semuanya dapat diketahui dalam al-Qur’an, as-Sunnah maupun dalam buku-buku fikih Islam.

Bahkan semenjak dulu hingga sekarang, hal itu banyak ditulis dalam buku yang terpisah dan tersendiri. Kemudian, di antara hukum-hukum khusus lainnya yang diperuntukan bagi wanita adalah tentang kewajiban memakai hijab dan upaya untuk menjaga kemuliaan atau citra diri.

Ada Apa Dengan Perbedaan Tersebut?

Pada dasarnya, hukum-hukum khusus yang diperuntukan hanya bagi laki-laki maupun bagi wanita, memberikan beberapa sikap yang harus kita ambil; di antaranya:

Pertama, mengimani dan taslīm (menerima dengan mantap) berbagai perbedaan antara laki-laki dan wanita tersebut, baik yang bersifat inderawi, maknawi maupun yang syar’i. Masing-masing pihak harus menerimanya dengan lapang dada berbagai perbedaan yang telah ditetapkan Allah swt, baik secara qadrati maupun syar’i. Sesungguhnya semua perbedaan tersebut tiada lain adalah keadilan yang akan membawa kepada keteraturan hidup bagi seluruh ummat manusia.

Kedua, seorang muslim dan muslimah tidak boleh mengangan-angankan kekhususan yang diperuntukan Allah swt kepada yang lainnya, karena hal ini dapat dianggap sebagai protes terhadap taqdir-Nya. Di samping itu, hal inipun dapat dianggap sebagai penolakan atas hukum dan syari’at-Nya. Sebaliknya, seorang hamba justru harus senantiasa memohon kemurahan dari-Nya, karena hal ini merupakan adab sopan santun syar’i yang dapat menghilangkan ketidak ridhaan, serta dapat membenahi dan melatih nafsu untuk muthma’innah, agar dengan lapang dada senantiasa menerima taqdir yang telah ditentukan Allah swt kepadanya.

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. an-Nisā’ (4): 32]

Ketiga, Apabila sikap iri hati dengan mengangan-angankan kekhususan yang lainnya dilarang, maka bagaimana halnya dengan orang-orang yang mengingkari perbedaan-perbedaan syar’i antara laki-laki dan wanita? Atau bahkan sebaliknya, justru menyerukan penghapusannya dan menggantinya dengan tuntutan yang disebut “kesetaraan gender”?

Tidak diragukan lagi bahwa hal ini adalah ideologinya kaum atheis yang tidak bertuhan. Dalam seruan terdapat penentangan terhadap kehendak Allah swt yang bersifat kawniyah qadariyah, dan sekaligus penolakan terhadap hukum Islam, yang secara tegas telah membedakan antara laki-laki dan wanita.

Seandainya persamaan antara laki-laki dan wanita –sebagaimana yang didengungkan, berlaku dalam seluruh hukum, dengan mengabaikan unsur perbedaaan yang ada, baik dalam bentuk ciptaan ataupun kemampuan masing-masing, maka dapat dipastikan bahwa hal ini sangat bertentangan dengan fithrah.

Di samping itu, bisa jadi hal ini menjadi sumber kezhaliman bagi pihak yang fādhil (mengungguli) dan yang mafdhūl (diungguli), atau secara umum bahkan akan menjadi kezhaliman bagi kehidupan manusia itu sendiri. Karena akan dibarengi pula oleh berbagai kegagalan dalam merealisasikan kemampuan-kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Dan sangat mustahil sekali apabila hal tersebut terjadi dalam syari’at Allah swt.

Berdasarkan hal tersebut, dalam naungan hukum Allah swt yang suci, kaum wanita diberikan jaminan kedudukannya sebagai seorang ibu, yaitu kedudukan mulia yang diperuntukan bagi mereka untuk mengatur urusan rumah tangga dan mendidik generasi penerus ummat di masa mendatang.

Oleh karena itu, maka sangat gamblang dan jelaslah bagi kita semua, bahwa antara kaum laki-laki dan kaum wanita terdapat berbagai perbedaan, baik yang bersifat fisik, psikis maupun yang bersifat syar’i.

Saudariku...

Inilah hakikat diri, citra dan wibawamu, oleh karena itu tunaikanlah tanggung jawab dan tugas-tugasmu dalam kehidupan ini!

Makalah ini diapresiasi dari: Hirāsah al-Fadhīlah, karya Syaykh Bakar bin ‘Abdillah Abū Zayd, Riyadh: Dār al-‘Āshimah, 1421 H.

Selasa, 14 April 2009

Kedzaliman = Kegelapan di Hari Kiamat

Kezhaliman atau aniaya merupakan salah satu hal yang dilarang keras di dalam agama Islam. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah memberitahukan, bahwa kezhaliman akan menjadi kegelapan nanti di Hari Kiamat. Jenis-jenis kezhaliman sangat banyak dan bertingkat-tingkat atau beragam, namun keseluruhannya adalah keburukan.Di antara bentuk-bentuk kezhaliman sebagai berikut: 


1. Menganiaya Diri Sendiri. 

Yaitu dengan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan banyak melakukan kemaksiatan. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,Artinya, 
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. 35:32) 

Jenis kezhaliman terhadap diri sendiri yang paling besar adalah seseorang menjerumuskan diri ke dalam kesyirikan, sebagaimana difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam Surat Lukman ayat: 13. 

2. Membunuh Jiwa yang Diharam-kan Allah. 

Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,Artinya, 
“Seorang mukmin senantiasa masih dalam keluasan agamanya , selagi ia tidak menumpahkan darah yang haram.” (HR. Al-Bukhari) 

3. Memakan Harta Anak Yatim 

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang orang yang berbuat zhalim terhadap harta anak yatim,Artinya, 
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. 4:10) 
Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,Artinya, 
“Jauhilah oleh kalian tujuh per-kara yang membinasakan”, beliau me-nyebutkan salah satunya adalah, “Memakan harta anak yatim.” (Muttafaq ‘alaih) 

4. Memakan Harta Orang Lain Secara Batil 

Tersebut dalam riwayat, bahwa salah seorang istri dari orang terdahulu (salaf) berkata kepada suaminya ketika ia akan berangkat kerja, “Bertakwalah engkau kepada Allah dan jauhilah penghasilan yang haram, sesungguhnya kami mampu bersabar menahan lapar, namun kami tak tahan terhadap api neraka.” 

Banyak sekali contoh-contoh dari memakan harta orang lain dengan cara yang batil, di antara yang terpenting dan banyak terjadi adalah:

§                         Tidak Membayar Hutang 
Ada sebagian orang yang begitu meyakinkan tatkala akan berhutang kepada orang lain, sehingga orang yang dihutangi husnuzhan (berprasangka baik) dan percaya saja, maka ia pinjamkan hartanya yang dengan susah payah ia kumpulkan itu. Namun ternyata ketika ditagih, ia tidak segera membayar-nya, bahkan terus menghindar, hingga akhirnya tidak dibayar. 

Dalam sebuah hadits dari Qatadah al-Harits bin Rabi’ Radhiallaahu anhu , bahwa Rasul Allah Subhannahu wa Ta'ala berdiri di tengah-tengah para shahabat dan beliau menyebutkan, bahwa jihad fi sabilillah dan beriman kepada Allah adalah amalan yang paling utama. Maka seorang laki-laki berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda, jika aku ter-bunuh di jalan Allah, apakah diampuni seluruh dosa-dosaku? Maka Rasulullah menjawab, “Iya, jika kamu terbunuh di jalan Allah, sedangkan kamu sabar dan mengharap pahalaNya, maju dan tidak mundur (lari).” Namun sejenak kemudian Rasulullah bertanya, “Tadi apa yang kamu katakan?” Maka orang tersebut berkata (lagi), “Bagaimana pendapat anda, jika saya terbunuh di jalan Allah, apakah seluruh dosa-dosaku diampuni? Maka beliau bersabda (lagi), “Iya, jika kamu sabar dan mengharap pahalaNya, maju dan tidak mundur (lari), kecuali hutang karena Jibril mengatakan yang demikian itu kepadaku.” (HR. Muslim) 

§                         Merampas Tanah Orang 
Yaitu dengan merampas, mengubah batas atau mengambil sejengkal tanah orang lain serta melanggar apa yang menjadi haknya. Dari Aisyah Radhiallaahu anha berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, 
“Barang siapa berbuat zhalim dengan mengambil sejengkal tanah (orang lain), maka akan dipikulkan kepadanya tujuh lapis bumi.” (Muttafaq ‘alaih) 

§                         Sumpah Palsu untuk Merampas Hak Orang 
Dari Umamah Iyas bin Tsa’labah al Haritsi Radhiallaahu anhu , bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Barang siapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah telah mewajibkan untuknya neraka dan mengharamkan atasnya surga.” Maka seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang diambil itu sesuatu yang ringan wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Walaupun hanya sepotong kayu siwak.” (HR. Muslim) 

§                         Suap atau Sogok 
Allah dan Rasul-Nya telah melaknat penyuap dan orang yang merima suap, demikian pula dengan pegawai atau pelaku birokrasi yang sengaja memperlambat dan mempersulit urusan umat. Mereka tidak bersegera menunaikan kewajibannya, sebelum mendapatkan tips atau hadiah sebagai pelancar dan pelicin urusan.

5. Mengambil Harta Baitul Mal 

Dari Umar bin al-Khaththab Radhiallaahu anhu ia berkata, “Ketika terjadi perang Khaibar sekelompok shahabat menghadap Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dan berkata, “Si fulan telah syahid, fulan juga syahid, sehingga ketika mereka menyebutkan nama salah seorang laki-laki, mereka berkata, “Si fulan juga telah syahid”. Maka Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Tidak demikian, sungguh aku melihatnya di neraka karena selimut yang telah ia gelapkan.” atau(dalam riwayat lain) adalah mantel. (HR. Muslim) 

Dari Abu Humaid Abdur Rahman bin Sa’d as-Sa’di Radhiallaahu anhu ia berkata, “Rasul Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menugaskan seorang laki-laki dari suku Azd yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengambil shadaqah (zakat). Ketika datang, ia me-ngatakan, “Ini untuk anda dan ini hadiah untuk saya.” Maka Rasulullah Subhannahu wa Ta'ala berdiri di atas mimbar, memuji dan menyanjung Allah lalu bersabda, “Amma ba’du, Sesungguhnya aku telah menugaskan salah seorang dari kalian untuk suatu pekerjaan yang Allah kuasakan kepadaku. Lalu ia datang dan berkata, “Ini untukmu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku. Mengapa ia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya saja, sehingga hadiah itu diantar kepadanya, jika memang ia benar. Demi Allah Tidaklah salah seorang mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan berjumpa dengan Allah pada Hari Kiamat dengan membawa apa yang ia ambil. Demi Allah, saya tidak ingin melihat seorang pun di antara kalian menjumpai Allah dalam keadaan membawa seekor unta yang mengeluar-kan suaranya atau seekor sapi yang melenguh atau kambing yang mengem-bik”. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kelihatan ketiaknya yang putih lalu bersabda, “Ya Allah bukankah telah aku sampaikan?” Beliau ucapkan sebanyak tiga kali. (Muttafaq ‘alaih) 

6. Merusak Hubungan Rumah Tangga atau Hubungan Budak dengan Tuannya. 

Yaitu seseorang memprovokasi istri orang lain dengan menyebut kelemahan dan kekurangannya, atau dengan menyebutkan kebaikan dan kelebihan laki-laki lain, bahkan mungkin sampai tingkat menyuruh untuk minta cerai. Akan lebih jahat lagi apabila ternyata orang yang memanas-manasi atau merusak si wanita ini mempunyai maksud untuk menikahinya. 

Demikian pula orang yang merusak hubungan baik seorang hamba sahaya wanita dengan tuannya, dengan menjalin hubungan gelap atau mem-bujuk agar melarikan diri dari tuannya. 
Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda, 
“Barang siapa yang merusak seorang hamba (untuk lari atau bermaksiat) kepada tuannya, maka dia bukan termasuk golongan kami, dan barang siapa yang merusak seorang wanita agar bermaksiat kepada suaminya, maka dia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad) 

7. Menipu dan Sumpah Palsu dalam Jual Beli 

Masih banyak pedagang yang melakukan hal ini, seperti yang terjadi pada para penjual mobil atau motor dan juga yang lain, yaitu dengan memberikan informasi dusta tentang barang dagangannya. Bahkan ada yang membumbui dengan sumpah palsu agar orang mau membelinya. 

8. Tidak Amanah dalam Tugas dan Pekerjaan. 

Seperti seorang pegawai atau orang yang dikontrak untuk bekerja, namun tidak bekerja dengan baik, masuk kerja semaunya atau sering membolos tanpa alasan yang dibenarkan. Sementara itu ketika giliran mengambil haknya, ia mengambil secara penuh. 

9. Mengurangi Timbangan dan Takaran 

Allah Subhannahu wa Ta'ala telah memperingatkan kita melalui firman-Nya, 
Artinya, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. 83:1-3) 

10. Tidak Menasehati Orang Jahil 

Orang yang tidak tahu atau jahil memiliki hak untuk diberitahu dan dinasehati, sebaliknya orang yang tahu atau memiliki ilmu, berkewajiban mengajari. Orang yang ditanya tentang ilmu, namun menyembunyikannya, padahal ia tahu, maka ia telah melakukan kezhaliman, dan ia mendapat ancaman yang keras dari Allah Subhannahu wa Ta'ala . 

11. Tidak Menjaga Keluarga dari Kemungkaran 

Yaitu tidak memerintahkan mereka untuk melakukan kebaikan, terutama perihal shalat serta tidak melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan. 

12. Menuduh Orang Berbuat Zina dan Menyebarkannya 

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,Artinya, 
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. 24:4) 

13. Menzhalimi Tetangga 

Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda, artinya, 
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya” (HR. al-Bukhari) Di antara bentuk kezhaliman terhadap tetangga adalah mencari-cari aibnya, mengambil sesuatu miliknya, membuka jendela rumahnya dan lain sebagainya. 

14. Zhalim Terhadap Suami/Istri 

Di antara bentuk sikap zhalim terhadap istri adalah mengambil harta yang menjadi haknya secara paksa, membebani pekerjaan di luar kemam-puannya, memaki dan mengolok-oloknya. Ada pun kezhaliman istri terhadap suami adalah tidak menaati-nya, bepergian tanpa izin suami, mengangkat suara atau menghardik, menuntut sesuatu di luar kemampuan-nya dan lain sebagainya. 

15. Mencela dan Memaki Sesama Muslim 

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah memperingatkan kita dari hal ini melalui sabdanya, 
Artinya, “Mencaci maki orang Islam adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Muslim) 

16. Menzhalimi Orang Tua 

Yaitu dengan mendurhakai keduanya dan ini merupakan bentuk kezhali-man yang amat besar. Ayat-ayat dan hadits yang memerintahkan untuk birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua) dan melarang dari mendur-hakai keduanya amatlah banyak. 

Ringkasan dari Kutaib, “Ha ulaai Hum Khushamauka Ghadan”. Abdul Malik al-Qasim. 

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template