Selasa, 02 Juni 2009

URGENSI NIAT IKHLASH DALAM SETIAP AMAL PERBUATAN

عَن أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
.رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري و أبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة

Dari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh ‘Umar bin al-Khaththāb rda, dia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya dan setiap orang pun (akan dibalas) sesuai dengan yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang-siapa yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut” (HR. al-Bukhāriy dan Muslim)


Catatan Penting:
1. Diriwayatkan oleh al-Bukhāriy, Mus-lim, Ashhāb as-Sunan dan lainnya.
Pada mulanya diriwayatkan secara tafarrud (menyendiri, hadits ahad), yaitu hanya diriwayatkan oleh ‘Umar, kemudian oleh ‘Alqamah bin Abī Waqqāsh, kemudian oleh Muhammad bin Ibrāhīm at-Taymiy, kemudian oleh Yahyā bin Sa’īd al-Anshāriy, kemudian setelah itu baru diriwayatkan oleh banyak perawi.
Hadits ini termasuk hadits sangat mengagumkan yang tercantum dalam Shahīh al-Bukhāriy sekaligus sebagai hadits pengantar. Demikian juga beliau menutup kitabnya dengan hadits yang sangat mengagumkan pula, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abū Hurayrah rda:
(( كَلِمَتَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ... ))
“Ada 2 (dua) kalimat yang disukai oleh al-Rahmān, yaitu…”
2. Imam an-Nawawiy memulai ‘Arba’īn-nya dengan hadits ini.
Banyak pula di antara para ulama yang memulai kitabnya dengan mencantumkan hadits ini, di antaranya adalah Imam al-Bukhāriy dalam Shāhih-nya, ‘Abd al-Ghaniy al-Maqdisiy dalam ‘Umdah al-Ahkam, al-Baghawiy dalam Syarh as-Sunnah dan Ma-shābīh as-Sunnah, dan as-Suyūthiy dalam al-Jāmi’ ash-Shaghīr.
Imam an-Nawawiy dalam bagian awal kitab al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab (1/35) mengemukakan sebuah pasal yang mengupas hadits ini, kemudian berkata:
“Pasal tentang ikhlash, jujur dan menghadirkan niat ketika mengerjakan setiap amal perbuatan, yang nampak nyata dan terlihat maupun yang samar tersembunyi. Kemudian beliau mengemukakan 3 (tiga) ayat al-Qur’an, lalu hadits “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya”, dengan memberikan komentar: “Hadits ini telah disepakati keshahihan dan keagungan kedudukannya. Hadits ini merupakan salah satu poros dan pilar keimanan, bahkan sebagai rukun utamanya”
Imam asy-Syāfi’iy berkata:
“Hadits ini merangkum 70 (tujuh puluh) bab fiqih”, dan di lain waktu beliau berkata:
“Hadits ini menghimpun sepertiga ilmu”, dan ungkapan senada seperti ini telah dikemukakan pula oleh para ulama lainnya.
Hadits ini adalah salah satu hadits yang menjadi pilar agama, meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menyebutkan bilangan hadits-hadits tersebut. Di antara mereka ada yang berpendapat 3 (tiga) hadits, 4 (empat) hadits, 2 (dua) hadits dan ada pula yang menyatakan hanya 1 (satu) hadits saja. Dan saya telah menghimpun hadits ini berjumlah 40 (empat puluh)-an hadits. Barangsiapa yang ingin mengetahui ajaran agamanya, maka hadits-hadits tersebut telah mencukupinya, karena semuanya adalah hadits-hadits shahih dan sekaligus sebagai hadits-hadits yang menghimpun kaedah-kaedah Islam, baik dalam ushūl (pokok) maupun furū’ (cabang), tentang zuhud, adab, akhlak dan lainnya. Dalam kitab saya, saya memulainya de-ngan hadits ini karena ingin meneladani para imam salaf terdahulu. Penghulu para imam ahli hadits, Imam Abū ‘Abdillah al-Bukhāriy, memulai Shāhih-nya dengan hadits ini. Dan diriwayatkan bahwa para imam ahli hadits sangat menyenangi untuk memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini. Tujuannya adalah untuk mengingatkan para pencari ilmu agar senantiasa meluruskan dan membenarkan niatnya, yaitu hanya untuk mengharapkan wajah Allah swt dalam setiap amal perbuatannya, yang nampak nyata maupun yang tersembunyi. Diriwayatkan bahwa Imam Abū Sa’īd ‘Abdur Rahmān bin Mahdiy berkata:
“Seandainya saya menulis sebuah kitab, maka dalam setiap babnya akan saya cantumkan hadits ini”, dan diriwayatkan pula bahwa beliau berkata:
“Barangsiapa yang ingin menulis sebuah kitab, maka hendaknya ia memulainya dengan hadits ini”
Imam Abū Sulaymān Hamd bin Muhammad bin Ibrāhīm al-Khaththābiy asy-Syāfi’iy dalam kitab al-Ma’ālim-nya berkata:
“Guru-guru kami terdahulu sangat menyukai untuk memulai berbagai pembahasan tentang masalah agama dengan hadits ini, karena hadits ini berkaitan erat dengan berbagai persoalan”
Ibnu Rajab dalam Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Hikam (1/61) berkata:
“Para ulama telah berkonsensus tentang keshahihan hadits ini dan menerimanya dengan bulat hati. Bahkan al-Bukhāriy memulai Shahīh-nya dengan hadits ini dan menjadikannya sebagai pengantar. Hal ini memberikan isyarat bahwa semua amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencapai wajah Allah adalah amal perbuatan yang batil dan tidak akan bermanfaat sama sekali, baik di dunia maupun di akhirat”
3. Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi menjadi pilar agama. Diriwayatkan bahwa Imam al-Syāfi’iy berkata: “Hadits ini merangkum sepertiga ilmu, dan merangkum 70 (tujuh puluh) bab fiqih” Dan diriwayatkan pula bahwa Imam Ahmad berkata:
“Pilar agama Islam terangkum dalam 3 (tiga) hadits, yaitu:
• Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung
pada niatnya…”,
• Hadits ‘Āysyah “Barangsiapa yang mengada-adakan amalan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka amalan tersebut pasti tertolak”,
• Hadits an-Nu’mān bin Basyīr “Sesung-guhnya hal yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas…”.
Dan ketika mengomentari pendapat Imam Ahmad, beliau (1/71) berkata:
“Bahwa seluruh pembahasan masalah agama bertumpu pada prinsip melaksanakan perintah, meninggalkan larangan dan tidak menjerumuskan diri mengikuti yang samar, dan hal ini akan sempurna apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
• Zhāhir amal (yang terlihat nyata) harus sesuai dengan as-Sunnah, dan hal ini terangkum dalam hadits ‘Āysyah “Barangsiapa yang mengada-adakan amalan dalam urusan (agama) kami ini yang bu-kan (berasal) darinya, maka amalan tersebut pasti tertolak”
• Bāthin amal (dalam hati) harus dimaksudkan hanya untuk mengharap wajah Allah swt semata. Dan hal ini terangkum dalam hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya””
Ibnu Rajab (1/61-63) ketika mengemukakan berbagai komentar para ulama tentang hadits-hadits yang menjadi dasar pijakan Islam, beliau berkata:
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa hadits-hadits tersebut berjumlah 2 (dua) hadits, 4 (empat) hadits, dan ada pula yang menyatakan ada 5 (lima) hadits saja. Di antara hadits-hadits yang mereka kemukakan selain 3 (tiga) hadits yang telah disebutkan di atas, adalah:
• Hadits “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari…….”,
• Hadits “Di antara tanda baiknya keislam-an seseorang adalah ketika dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya”,
• Hadits “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Baik, dan tidak akan menerima kecuali yang baik…”,
• Hadits “Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”,
• Hadits “Apa yang aku larang bagi kalian hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian”,
• Hadits “Zuhudlah terhadap dunia, maka engkau akan dicintai Allah. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada orang lain, maka engkau akan dicintai orang”, dan
• Hadits “Agama Islam adalah nasehat…”.
4. “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya”, Innamā adalah huruf al-hashr (membatasi apa yang disebutkan setelahnya), adapun alīf lām dalam al-a’māl adalah untuk menunjukkan hal yang berkaitan khusus dengan masalah taqarrub (taat) kepada Allah swt.
Namun ada pula pendapat yang menyatakan bahwa alīf lām tersebut adalah untuk menunjukkan setiap amalan yang bersifat umum.
Oleh karena itu, apabila amal perbuatan tersebut termasuk bentuk taqarrub kepada Allah swt, maka pelakunya pasti akan mendapatkan pahala kebaikan. Dan apabila amal perbuatan tersebut termasuk adat kebiasaan, seperti makan, minum dan tidur, apabila pelakunya ingin mendapatkan pahala kebaikan, maka hendaknya dia meniatkan amal kebiasaan tersebut dalam rangka menunjang ketaatan kepada Allah. Alif lam dalam an-niyyāt adalah pengganti dari dhamīr (kata ganti) hā, yaitu bahwa al-a’māl bi niyyātihā. an-Niyyah atau niat secara morfologis berarti al-qashd (maksud, kehendak atau tujuan), yang berfungsi sebagai pembeda antara beragam jenis ibadah, seperti pembeda antara fardhu yang satu dengan jenis fardhu lainnya, atau antara yang fardhu dengan nāfilah (sunnah), dan pembeda antara ibadah dengan adat kebiasaan, seperti mandi ibadah apabila diniatkan untuk menghilangkan junūb dengan mandi kebiasaan yang hanya bertujuan untuk menyegarkan dan membersihkan badan.
5. “Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya”, maka Ibnu Rajab (1/65) berkata:
“Ungkapan ini merupakan penjelasan yang menerangkan bahwa pelaku perbuatan akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Apabila niatnya baik, maka pahalanya adalah kebaikan. Dan apabila niatnya jelek, maka pahalanya adalah kejelekan (dosa) pula. Ungkapan ini bukan merupakan pengulangan dari ungkapan pertama (sebelumnya), karena ungkapan pertama hanya menunjukkan bahwa kebaikan atau kejelekan suatu amal perbuatan adalah sesuai dengan niat yang dikehendaki. Sedangkan ungkapan kedua menunjukkan bahwa pahala pelaku amal perbuatan adalah tergantung kepada niat baiknya, demikian pula dosanya adalah dikarenakan niatnya yang jelek. Dan bisa jadi niatnya adalah niat yang mubah, maka amalnyapun bernilai mubah, tidak bernilai kebaikan dan tidak juga bernilai dosa. Nilai suatu amal perbuatan, baik, buruk atau mubah tergantung kepada niat yang menjadi pendorong adanya amal perbuatan tersebut. Demikian pula halnya dengan pahala, dosa dan keselamatan pelaku amal perbuatan, maka tergantung kepada niatnya, karena hanya dengan niatlah suatu amal perbuatan dapat dinilai sebagai amal yang baik, jelek ataupun mubah”
6. “Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”, hijrah berasal dari akar kata al-hajr, yang berarti at-tark (meninggal-kan). Oleh karena itu, hijrah adalah meninggalkan negeri yang diliputi ketakutan menuju negeri yang aman tenteram, seperti hijrah dari Mekkah ke Habasyah. Atau hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam, seperti hijrah dari Mekkah ke Madinah, sehingga hijrah tersebut berakhir manakala Mekkah telah berhasil ditaklukkan. Hijrah dapat pula berarti hijrah dari negeri syirik ke negeri Islam, dan hijrah ini akan tetap berlaku hingga datangnya hari kiamat.
“Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya”, dalam ungkapan ini terhimpun antara sesuatu yang menjadi syarat dengan jawabannya, padahal hukum asalnya adalah harus terpisah. Maka maknanya adalah: “Barangsiapa yang niat dan maksud hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka pahala hijrahnya ada di sisi Allah dan Rasul-Nya”, dari sini jelaslah bahwa antara syarat dan jawabannya ternyata kalimatnya terpisah.
Ibnu Rajab (1/72) berkata:
“Ketika Rasulullah menjelaskan bahwa setiap amal perbuatan sesuai dengan niatnya, dan bahwa hasil jerih-payah seseorang dalam mengerjakan amal perbuatan adalah berdarkan niatnya, baik atau buruknya, maka kedua ungkapan berikut merupakan ungkapan umum lagi menyeluruh, bahwa amal apapun tidak akan pernah lepas darinya (yaitu niat). Oleh karena itu, maka kemudian beliau menyebutkan salah satu contoh amal perbuatan yang memiliki bentuk yang sama, namun mempunyai hasil yang berbeda, sesuai dengan baik dan buruknya niat amal tersebut. Sehingga seakan-akan Rasullah bersabda bahwa “Setiap amal perbuatan mempunyai hasil yang sama persis dengan contoh yang ada dalam permisalan””
Dan beliau (1/73) berkata:
“Dalam hal ini Rasulullah menjelaskan bahwa hijrah mempunyai pahala yang berbeda-beda, sesuai perbedan niat dan maksudnya. Barangsiapa yang hijrah ke negeri Islam karena cinta Allah dan Rasul-Nya, atau karena ingin mempelajari agama Islam, dan membela agama-Nya, ketika di negeri syirik dia tidak sanggup mengerjakannya, maka dia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya secara hakiki. Dan cukuplah ia untuk mendapatkan kebanggaan dan kemuliaan manakala ia mendapatkan pahala hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya, yaitu diterima di sisi Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, jawaban dari syarat yang disebutkan akhirnya diulang dengan kata syarat itu sendiri. Hal ini dikarenakan tujuan yang ingin dicapainya tiada lain adalah tujuan tertingginya, yaitu demi kebaikan dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang hijrahnya dari negeri syirik ke negeri Islam hanya untuk mencari kepentingan duniawi yang ingin diraihnya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuannya tersebut. Niat pertama adalah niat seorang pedagang, dan niat kedua adalah niat seorang yang hendak melamar kekasihnya, maka keduanya tidaklah dapat disebut sebagai seorang muhājir. Di dalam ungkapan “…maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”, adalah ungkapan penghinaan dan pendiskreditan terhadap tujuan duniawi yang menjadi incarannya, karena Rasulullah tidak menyebutkan kalimat yang menjadi syaratnya. Di samping itu, hal ini berarti bahwa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah satu dan tidak akan terbagi-bagi, karena ungkapan jawabnya menggunakan ungkapan yang sama dengan ungkapan syarat. Hijrah karena kepentingan duniawi tidak ada batasnya, karena seseorang yang berhijrah karena kepentingan duniawi bisa jadi karena hendak meraih kepentingan yang dibolehkan, atau pun kepentingan duniawi yang diharamkan. Oleh karena itu jenis kepentingan duniawi yang menjadi tujuan hijrah tidak ada batasnya, maka Rasulullah bersabda dengan ungkapan “…maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”, yaitu hal apapun yang menjadi tujuan hijrahnya”
7. Ibnu Rajab (1/74-75) berkata:
“Sudah sangat terkenal bahwa kisah tentang seorang laki-laki yang berhijrah karena hendak menikah Ummu Qays adalah yang menjadi penyebab sabda Rasulullah Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya…”. Hal ini bahkan banyak disebutkan oleh para ulama khalaf dalam buku-bukunya, namun saya berpendapat bahwa kisah ini tidak memiliki landasan yang benar. Wallahu A’lam”
8. Tempat niat ada di dalam hati, maka melafazhkannya termasuk perbuatan bid’ah.
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk melafazkan niat dalam setiap amal ketaatan, apapun bentuknya, kecuali dalam haji dan ‘umrah. Karena ketika haji atau ‘umrah, seseorang yang mengucapkan talbiyyah harus meniatkan tujuannya, apakah qirān, ifrād ataupun tamattu’, dengan mengucapkan “Labbayk ‘Umratan wa Haj-jan” atau “Labbayk Hajjan” atau “Labbayk ‘Umratan”, karena hal ini ada dasar hadits-nya, se-dangkan amal ibadah lainnya tidak ada penjelasannya.

Faedah Hadits:
1. Tidak akan pernah ada amal perbuatan kecuali disertai dengan niat.
2. Amal perbuatan tergantung niatnya.
3. Pahala seseorang yang mengerjakan suatu amal perbuatan sesuai dengan niatnya.
4. Seorang ‘ālim (guru, ustadz atau pendidik) diperbolehkan memberikan contoh ketika menerangkan dan menjelaskan.
5. Keutamaan hijrah, karena Rasulullah saw menjadikannya sebagai contoh dalam permisalan.
Dalam Shahih Muslim (No. 192), dari ‘Amr bin al-‘Āsh rda, bahwa Rasulullah saw bersabda:
(( أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اْلإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ؟ ))
“Tidakkah engkau mengetahui bahwa Islam menghapuskan dosa-dosa sebelumnya? Dan engkau pun mengetahui bahwa Hijrah dan haji juga akan menghapuskan dosa-dosa yang sebelumnya?”
6. Seseorang akan mendapatkan pahala kebaikan, atau dosa, atau terjerumus dalam perbuatan haram adalah dikarenakan niatnya.
7. Suatu amal perbuatan tergantung wasīlahnya. Maka sesuatu yang mubāh dapat menjadi suatu bentuk ketaatan dikarenakan niat seseorang, karena ketika mengerjakannya diniatkan untuk memperoleh kebaikan, seperti makan dan minum, apabila diniatkan untuk memperkuat diri dalam berbuat taat.
8. Suatu amal perbuatan dapat menjadi kebaikan yang berpahala bagi seseorang, namun dapat pula menjadi dosa yang diharamkan bagi seseorang yang lain, adalah dikarenakan oleh niatnya.

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template