Senin, 20 April 2009

SAUDARIKU, Inilah Hakikat Dirimu, Maka Tunaikanlah Kewajibanmu...!

Saudariku...............................................................

Walaupun kaummu, yaitu kaum wanita dan kaum lelaki adalah sama-sama insan ciptaan Allah swt, namun sesungguhnya mereka memiliki banyak sekali perbedaan. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan fisik, psikis maupun perbedaan dalam taklīf (tugas dan tanggung jawab) syar’i. Dan perbedaan antara laki-laki dan wanita adalah perbedaan yang sesuai dengan takdir (realita), syar’i, dan dapat dibuktikan dengan nalar atau rasio. Allah swt berfirman:

“dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan”

[QS. an-Najm (53): 45]

Dalam konteks agama secara umum, keduanya sama-sama diperintahkan Allah swt untuk memakmurkan dunia dengan beribadah hanya kepada-Nya, tanpa dibeda-bedakan, baik dalam; tauhid dan keyakinan, hakikat keimanan, penyerahan diri kepada Allah swt, pahala dan siksaan, targhīb (anjuran) dan tarhīb (ancaman) secara global, maupun dalam fadhā’il (keutamaan dan kemuliaan). Demikian pula halnya dalam pemberian syari’at secara umum, baik dalam hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya, semuanya sama.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [QS. adz-Dzāriyāt (51): 56]

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [QS. an-Nahl (16): 97]

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” [QS. an-Nisā (4): 124]

Namun, Allah swt telah memberikan ketentuan takdir-Nya bahwa laki-laki tidak sama dengan wanita, baik dalam khilqah (fisik), jibillah (psikis atau kejiwaan) dan dalam perangai atau tabiatnya. Maka sesuai penciptaannya, laki-laki memiliki kesempurrnaan fisik dan psikis, sedangkan wanita lebih lemah dalam penciptaannya, seperti harus mengalami haidh, kehamilan, kelahiran, menyusui dan mengurus anak susuannya, serta untuk mengurus pendidikan anak-anaknya sebagai generasi penerus di masa mendatang. Oleh karena itu, maka wanita diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam as, yang merupakan bagian darinya sehingga akan senantiasa mengikutinya dan berfungsi sebagai penggembira (penyejuk) baginya. Adapun laki-laki, maka dia dipercaya sebagai pemenuh kebutuhan kaum wanita, menjaganya, serta untuk memberi nafkah kepadanya dan kepada anak mereka berdua. Perbedaan penciptaan ini pada akhirnya menimbulkan konsekwensi adanya perbedaan kekuatan dan kemampuan fisik, rasio, fikiran, perasaan, kemauan, dan dalam berbagai hal lainnya.

Perbedaan jenis keduanyalah yang pada akhirnya dijadikan ukuran barometer dalam kebanyakan hukum syari’at yang diberlakukan kepada keduanya. Allah swt menetapkan adanya perbedaan, kelebihan dan kekurangan di antara keduanya dalam pemberian syari’at serta dalam tugas dan tanggung jawab mereka dalam kehidupan, tiada lain adalah agar saling melengkapi dan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing.

Perbedaan antara laki-laki dan wanita ini merupakan irādah (kehendak) Allah swt yang bersifat kawniyah qadariyah (takdir alamiah) dalam penciptaan dan penyusunan (fisik dan psikis) serta dalam berbagai potensi dan kemampuan yang dianugerahkan-Nya. Sedangkan perbedaan lainnya yang berhubungan dengan syari’at beragama merupakan irādah Allah swt yang bersifat diniyyah syar’iyah (tuntutan syari’at), yang berkenaan dengan perintah, hukum dan pemberlakuan syari’at kepadanya. Namun yang pasti adalah bahwa kedua kehendak Allah swt tersebut sangat sesuai dengan kemaslahatan manusia selaku hamba-Nya yang bertugas memakmurkan alam, menjaga ketertiban hidup individu, membangun rumah, serta untuk hidup berkelompok dan membentuk komunitas sosial.

Sebagian Kekhususan Laki-laki dan Perempuan

Di antara hukum-hukum khusus yang diperuntukan bagi laki-laki adalah bahwa mereka bertanggung jawab terhadap sebuah rumah (tangga), dengan memberikan perlindungan, perhatian dan pemeliharaan terhadap berbagai kehormatannya, serta berkewajiban untuk menjaga atau memproteksi rumah tangga tersebut dari berbagai kehinaan dan mara bahaya yang mengancamnya. Mereka pun juga bertanggung jawab untuk menghidupi dan memberi nafkah kepada keluarganya.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…” [QS. an-Nisā’ (4): 34]

Kekhususan laki-laki lainnya adalah bahwa kenabian dan kerasulan hanya dianugerahkan kepada mereka, tidak kepada wanita.

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri…” [QS. Yusuf (12): 109]

Para ahli tafsir berpendapat bahwa “Allah tidak akan mengutus seorang nabipun dari kaum wanita, malaikat, jin ataupun dari orang badui”.

Perwalian yang bersifat umum beserta perangkatnya, seperti kehakiman, administrasi dan sebagainya; serta berbagai perwalian lainnya, seperti perwalian dalam pernikahan, semuanya dilimpahkan hanya kepada laki-laki, bukan wanita.

Demikian halnya dalam ibadah kepada Allah swt, maka laki-laki juga memiliki banyak kekhususan yang tidak diperuntukan bagi kaum wanita, seperti kewajiban jihad, shalat Jum’at, shalat berjamaah, adzan, iqamah dan lain sebagainya. Begitu pula dengan wewenang menjatuhkan thalāq (cerai) juga tergantung keputusan dari seorang suami, bukan istri. Dan seorang anak pun harus dinisbatkan kepada ayahnya, bukan kepada ibunya.

Selain itu, kaum laki-laki juga dilipat gandakan bagiannya dibandingkan wanita, baik dalam warisan, diyat (sanksi), persaksian, pembebasan budak maupun dalam ‘aqīqah.

Sedangkan hukum-hukum khusus yang diperuntukan Allah swt bagi kaum wanitu pun banyak juga jumlahnya. Di antaranya ada yang berhubungan dengan masalah ibadah, mu’amalah, pernikahan, serta dalam pengambilan keputusan atau kehakiman dan hal-hal lainnya, yang semuanya dapat diketahui dalam al-Qur’an, as-Sunnah maupun dalam buku-buku fikih Islam.

Bahkan semenjak dulu hingga sekarang, hal itu banyak ditulis dalam buku yang terpisah dan tersendiri. Kemudian, di antara hukum-hukum khusus lainnya yang diperuntukan bagi wanita adalah tentang kewajiban memakai hijab dan upaya untuk menjaga kemuliaan atau citra diri.

Ada Apa Dengan Perbedaan Tersebut?

Pada dasarnya, hukum-hukum khusus yang diperuntukan hanya bagi laki-laki maupun bagi wanita, memberikan beberapa sikap yang harus kita ambil; di antaranya:

Pertama, mengimani dan taslīm (menerima dengan mantap) berbagai perbedaan antara laki-laki dan wanita tersebut, baik yang bersifat inderawi, maknawi maupun yang syar’i. Masing-masing pihak harus menerimanya dengan lapang dada berbagai perbedaan yang telah ditetapkan Allah swt, baik secara qadrati maupun syar’i. Sesungguhnya semua perbedaan tersebut tiada lain adalah keadilan yang akan membawa kepada keteraturan hidup bagi seluruh ummat manusia.

Kedua, seorang muslim dan muslimah tidak boleh mengangan-angankan kekhususan yang diperuntukan Allah swt kepada yang lainnya, karena hal ini dapat dianggap sebagai protes terhadap taqdir-Nya. Di samping itu, hal inipun dapat dianggap sebagai penolakan atas hukum dan syari’at-Nya. Sebaliknya, seorang hamba justru harus senantiasa memohon kemurahan dari-Nya, karena hal ini merupakan adab sopan santun syar’i yang dapat menghilangkan ketidak ridhaan, serta dapat membenahi dan melatih nafsu untuk muthma’innah, agar dengan lapang dada senantiasa menerima taqdir yang telah ditentukan Allah swt kepadanya.

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. an-Nisā’ (4): 32]

Ketiga, Apabila sikap iri hati dengan mengangan-angankan kekhususan yang lainnya dilarang, maka bagaimana halnya dengan orang-orang yang mengingkari perbedaan-perbedaan syar’i antara laki-laki dan wanita? Atau bahkan sebaliknya, justru menyerukan penghapusannya dan menggantinya dengan tuntutan yang disebut “kesetaraan gender”?

Tidak diragukan lagi bahwa hal ini adalah ideologinya kaum atheis yang tidak bertuhan. Dalam seruan terdapat penentangan terhadap kehendak Allah swt yang bersifat kawniyah qadariyah, dan sekaligus penolakan terhadap hukum Islam, yang secara tegas telah membedakan antara laki-laki dan wanita.

Seandainya persamaan antara laki-laki dan wanita –sebagaimana yang didengungkan, berlaku dalam seluruh hukum, dengan mengabaikan unsur perbedaaan yang ada, baik dalam bentuk ciptaan ataupun kemampuan masing-masing, maka dapat dipastikan bahwa hal ini sangat bertentangan dengan fithrah.

Di samping itu, bisa jadi hal ini menjadi sumber kezhaliman bagi pihak yang fādhil (mengungguli) dan yang mafdhūl (diungguli), atau secara umum bahkan akan menjadi kezhaliman bagi kehidupan manusia itu sendiri. Karena akan dibarengi pula oleh berbagai kegagalan dalam merealisasikan kemampuan-kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Dan sangat mustahil sekali apabila hal tersebut terjadi dalam syari’at Allah swt.

Berdasarkan hal tersebut, dalam naungan hukum Allah swt yang suci, kaum wanita diberikan jaminan kedudukannya sebagai seorang ibu, yaitu kedudukan mulia yang diperuntukan bagi mereka untuk mengatur urusan rumah tangga dan mendidik generasi penerus ummat di masa mendatang.

Oleh karena itu, maka sangat gamblang dan jelaslah bagi kita semua, bahwa antara kaum laki-laki dan kaum wanita terdapat berbagai perbedaan, baik yang bersifat fisik, psikis maupun yang bersifat syar’i.

Saudariku...

Inilah hakikat diri, citra dan wibawamu, oleh karena itu tunaikanlah tanggung jawab dan tugas-tugasmu dalam kehidupan ini!

Makalah ini diapresiasi dari: Hirāsah al-Fadhīlah, karya Syaykh Bakar bin ‘Abdillah Abū Zayd, Riyadh: Dār al-‘Āshimah, 1421 H.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template