Rabu, 21 Januari 2009

HAKIKAT DEMOKRASI

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

 

Bismillahi walhamdulillah. Allahumma Sholli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad. Wa ba'du.

 

Ikhwah fillah yang dirahmati Allah,

berikut ini kami hadirkan sekilas pembahasan tentang prinsip-prinsip demokrasi yang bertentangan dengan Islam. Sajian ini kami hadirkan atas permintaan beberapa ikhwan yang ingin mendapatkan kejelasan tentang masalah ini, semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.

 

Selalamat menyimak:

 

Sistem demokrasi adalah sistem yang  tidak mempunyai satupun sandaran hukum dari Islam, berbahaya bagi akidah karena banyak sekali prinsip yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadit. Selain itu ia juga merupakan jalan/cara yang terus diupayakan oleh orang kafir agar bisa diterapkan di seluruh negara muslim. Karena dengan menerapkan sistem demokrasi, maka ketaatan dan ketundukan kaum muslimin kepada hukum Allah akan jatuh kepada ketaatan dan ketundukan kepada hukum buatan manusia. Lebih jauh, setiap individu akan bebas berpendapat yang pendapat tersebut sering kali bertentangan dengan hukum Islam, karena kebanyakan manusia itu lalai dan fasik. Namun atas nama asas menghargai pendapat, maka semua ide/pendapat itu, baik itu baik ataupun buruk, sama-sama berhak dihargai, di dengar, bahkan bisa jadi disepakati untuk selanjutnya dituangkan di dalam suatu bentuk hukum (yang tentunya akan menyelisihi hukum Allah).

 

Di dalam demokrasi, kita akui memang ada padanya prinsip-prinsip yang mirip dengan Islam, seperti prinsip musyawarah untuk mufakat. Tetapi bagaimana caranya dan siapa saja yang boleh ikut bermusyawarah tersebut sangat bertentangan dengan sistem Syuro yang dikenal di dalam Islam. Demikian juga tidak kita pungkiri bahwa di dalam demokrasi terdapat kebaikan-kebaikan. Tetapi kita katakan bahwa belum tentu sesuatu yang memiliki kebaikan itu adalah hal yang baik dan benar secara mutlak. Karena di dalam hukum semua agama seperti Kristen, Hindu, Budha, bahkan Yahudi sekalipun ada padanya kebaikan, seperti dilarang membunuh, tolong menolong dsb. Namun bukan berarti bahwa agama-agama tersebut di atas kebenaran.

 

Sebagaimana ketika seorang ikhwan bertanya kepada Syaikh Muhammad Qutb dosen Universitas Ummul Qora Mekkah (adik kandungnya Sayyid Qutb) tentang hukum demokrasi, beliau menjawab dengan membacakan ayat yang berkenaan dengan judi dan Khamr (Al-Baqarah: 219) yang artinya:

 

Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, akan tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".

 

Begitu pula ketika Syaikh Abdullah ‘Azzam rahimahullah ditanya tentang duduk di dalam parlemen, maka beliau membolehkannya dengan 2 buah syarat. Syarat yang pertama adalah harus tetap berani mengatakan halal apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an halal, dan haram apa yang dikatakan oleh Al-Qur'an haram. Dan syarat yang kedua adalah apabila tidak sanggup melaksanakan syarat yang pertama, maka kewajiban baginya untuk keluar dari parlemen (Kaset Kalimat Sutirot Biddima).

 

Begitulah, apabila kita melihat dengan pikiran yang jernih dan mengutamakan keselamatan keimanan, maka kita akan melihat bahwa demokrasi itu bukan hanya bid’ah yang sangat bertentangan dengan Islam, akan tetapi demokrasi adalah salah satu bentuk kemusyrikan kontemporer dalam ketaatan dan ketundukan atau di dalam pembuatan undang-undang yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. (lihat Al-Mausu’ah Al Muyasaroh fil Adyan wal Madzahib wal Ahzab al Mu’aasyiroh karya Dr. Mani Al Juhani Cetakan WAMI Vol II hal: 1056). Berikut beberapa prinsip demokrasi yang bertentangan dengan Islam.

 

1.       Demokrasi adalah sebuah cara/alat buatan orang kafir dalam pengaturan sistem kenegaraan serta dalam pembuatan dan penerapan hukum/perundang-undangan, yang dianggap baik oleh kaum muslimin, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al-Maidah: 50).

 

"Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya (Al-Kahfi: 104).

 

            Selain itu Rasulullah SAW telah bersabda:

 

"Sungguh kalian akan mengikuti kebiasan orang-orang sebelum kalian, persis seperti apa yang mereka lakukan, (di dalam riwayat lain: sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta), sehingga apabila mereka masuk ke dalam lubang biawak niscaya kalian pun akan masuk ke dalamnya. Seorang Shahabat bertanya: "Apakah mereka itu Al Yahud wan Nashoro?" Kemudian Rasulullah bersabda: “Siapa lagi kalau bukan mereka?" (Al-Hadits).

 

            Rasulullah SAW bersabda:

 

Ketika Rasulullah SAW membaca ayat yang artinya: "Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (At-Taubah: 31), kemudian Adi Ibnu Hatim berkata: “Kami tidak beribadah kepada mereka.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Bukankah mereka telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah kemudian kalian pun menghalakannya dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah kemudian kalian pun mengharamkannya?" Adi Ibnu Hatim menjawab:” Ya.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Maka itulah bentuk peribadatan kepada mereka.” (HR Ahmad dan Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).

 

  1. Kebenaran menurut demokrasi adalah sesuatu yang diikuti/disetujui oleh orang banyak, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Al-An’am:116)

 

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka fasik (Al-Hadiid: 26).

 

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan  mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur (Al-Baqarah: 243).

 

Konsep ini juga bertentangan dengan ayat:

 

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu (2:147).

 

Kemudian Dr. Sholah Sowi (salah seorang ulama Ikhwanul Muslimin (IM) terkemuka saat ini) berkata: “Adapun kekuasaan ummat Islam, maka seluruhnya berkisar pada garis rotasi syari’ah. Ummat Islam tidak berhak sedikitpun juga untuk menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT atau sebaliknya, atau mensyari’atkan sesuatu dalam agama ini yang tidak pernah diizinkan oleh Allah ‘Azza Wajalla, sekalipun seluruhnya bersepakat dan berkumpul dalam sebuah lapangan untuk memutuskan hal itu. (Ats-tsawaabit wal Mutaghoyyirot oleh Dr. Sholah Sowi cetakan Al-Muntada London hal 237).

 

  1. Demokrasi mengatakan bahwa hukum ada di tangan rakyat, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“…….Keputusan (hukum) itu hanyalah bagi Allah……” (Yusuf: 40).

 

  1. Demokrasi memperbolehkan berhukum dengan selain hukum Allah, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“…..Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Al-Maidah: 44).

 

“…..Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (Al-Maidah: 45).

 

“…..Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47).

 

Ibnu Taimiyah berkata: “Dan tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang tidak meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, maka ia telah kafir. Dan barangsiapa yang menghalalkan untuk memberikan hukum diantara manusia dengan sesuatu yang dia anggap adil tanpa mengikuti apa yg telah dirturunkan oleh Allah maka ia pun telah kafir.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah Vol III hal 267).

 

  1. Demokrasi akan mengakomodasi hukum Allah dan juga selain hukum Allah (campuraduk yang hak dan yang bathil), padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil….” (Al-Baqarah:42).

 

  1. Demokrasi menyamakan antara muslim dengan kafir di dalam penentuan hukum (parlemen), padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (Al-Qalam: 35).

           

  1. Demokrasi menuntut (bahkan membela) persamaan hak antara laki-laki dan wanita dalam segala hal termasuk persaksian, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“….Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai…” (Al-Baqarah: 282).

 

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa’:11).

 

  1. Demokrasi menyamakan antara orang yang bertaqwa dengan orang fasiq di dalam penentuan hukum (parlemen), padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung” (Al-Hasyr: 20).

 

 

  1. Demokrasi menyamakan antara orang berilmu (ulama) dan orang bodoh (awam) di dalam penentuan hukum (parlemen), padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“Apakah sama orang yg berilmu dengan orang yang tidak berilmu…” (Al-Ayat).

 

  1. Demokrasi memperbolehkan orang kafir jadi pemimpin, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Maidah:51).

 

  1. Demokrasi memperbolehkan (bahkan membela) seorang wanita duduk menjadi anggota parlemen, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“Hendaklah kalian (para wanita mukmin) tinggal di rumah-rumah kalian…” (Al-Ayat).

 

  1. Demokrasi memperbolehkan (bahkan membela) seorang wanita menjadi pemimpin, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita….” (An-Nisa’:34).

 

Selain itu Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita (Hadits Shohih).

 

  1. Demokrasi memperbolehkan seseorang murtad (keluar dari Islam) sebagai hak asasi manusia (kecuali murtad dari demokrasi !!!), padahal Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia.” (Hadits shohih).

 

  1. Demokrasi menuntut adanya toleransi dengan orang kafir dalam hal akidah seperti doa bersama, mengucapkan perayaan keagamaan, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:

 

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka….” (Al-Mujadilah: 22).

 

 

Maka dengan demiian, akankah kita mengorbakankan agama kita demi mengokohkan sistem Yahudi dan Nahsrani? Allah SWT berfirman:

 

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian (agama kalian), tidak akan membahayakan kalian orang yang sesat, apabila kalian telah mendapatkan petunjuk.” (Al-Ayat).

 

Adapun dalam rangka menolong kaum muslimin, maka masih banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan mereka dengan tanpa mengorbankan keimanan dan akidah kita.

 

Cobalah renungi ayat-ayat berikut ini:

 

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An-Nisa’: 60-61)

 

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65).

 

Wallahu’alam.

 

Walhamdulillah. Washolallahu ‘ala Muhammad. 

 

Akhukum An-Naasih

 

0 komentar:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template