Seseorang bercerita: “Kami merasakan begitu bahagia dan gembira saat kami dengar seorang laki-laki berkebangsaan Philiphina mengucapkan dua kalimat syahadat, memproklamasikan keislamannya dan meninggalkan agama bathil dan aqidah menyimpangnya.
Akan tetapi kegembiraan kami belum sempurna! Ketika kegembiraan dan kesenangan dengan masuknya ia pada agama yang hak, ternyata kami lihat raut mukanya begitu sedih dan pilu. Lalu kami diam sejenak hingga kami lihat curahan air mata begitu deras mengalir dari kedua matanya. Kami berikan sejenak waktu baginya untuk mengungkapkan isi hati dari air mata yang berlinang, sebagian kami memandang sebagian yang lain, kagum dengan apa yang kami saksikan.
Tatkala kesedihan telah mereda, dengan perasan iba kami meminta penerjemah untuk bertanya kenapa ia menangis secara tiba-tiba. Tahukah kalian apa yang ia ucapkan? Ia berucap dengan semangat membara, “Sesungguhnya aku banyak memuji Allah atas anugrah-Nya kepadaku hingga aku masuk Islam dan menyelamatkatkanku dari api neraka dan tidak mematikanku di atas kekafiran. Akan tetapi aku sekarang bertanya-tanya tentang bapak dan ibuku yang keduanya mati dalam kekafiran. Bukankah kalian bertanggung jawab atas hidayah mereka? Dimana partisipasi kalian terhadap mereka atau kaum lain yang tersesat? Dimana peran kalian dalam menunaikan kewajiban terhadap agama hak ini dan menyebarkan kepada siapa saja yang sangat membutuhkan melebihi kebutuhan makanan dan minuman? Ucapan tersebut membuat mereka gemetar dan mencelupkan mereka kepada awan kediaman dan kesedihan, saat mendengarkan hakekat yang sebenarnnya terjadi. Akibat ucapannya yang sangat membekas dalam lubuk hati itu, mereka berkata, ”Dimanakah sebagian kaum Muslimin yang lalai dalam menunaikan kewajiban dakwah ini hingga mereka mendengar ucapan seperti ini?”
Seseorang yang lain bercerita, ”Aku diberi tugas dari kantor tempat kerjaku di Dammam pada waktu sore hari. Saat di jalan menuju tempat dinas, aku memperhatikan beberapa pemuda berkumpul, yang menurut penglihatanku mereka sedang asyik bermain-main dan berhura-hura. Aku melihat keadaan mereka seperti ini. Aku berkata dalam hatiku, ”Aku akan mengunjungi mereka untuk menunaikan kewajibannku.”
Akan tetapi syetan senantiasa mencegahku supaya aku tidak bersegera dan terburu-buru mendakwahi mereka. Setelah hampir satu bulan lamamya, aku lawan godaan syetan itu. Aku pergi menuju mereka dan aku jelaskan kepada mereka, sesungguhnya sejak satu bulan yang lalu aku ingin berkunjung kepada mereka. Kemudian aku berbicara kepada mereka tentang kewajiban seorang Muslim dan tanggung jawabnya kepada dirinya, Rabb-nya, keluarganya, hakekat ke-matian, datangnya ajal secara tiba-tiba kapanpun waktunya, urgensi amal shaleh dan selayaknya untuk menjauhi kelalaian dan perbuatan maksiat. Aku berbicara kepada mereka dan aku lihat tanda-tanda pengaruh dari pembicaraanku nampak pada wajah-wajah mereka, bahkan sebagian mereka meneteskan air mata karena sedih terhadap realita diri mereka.
Setelah nasehatku selesai, salah satu diantara mereka memerintahkan untuk berkumpul. Dengan suara tinggi, didalamnya terkandung peringatan dan teguran, ia berkata, ”Wahai seorang laki-laki, dimana nasehat-nasehat engkau kepada kami sebelum hari ini? Semenjak satu bulan lalu engkau melihat kami keadaannya menyedihkan, sepertinya engkau tak memperhatikannya? Dimana tempat kembalinya seseorang dari kami bila mati, padahal keadaannya seperti ini, suatu keadaan yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya? Bukankah anda akan ditanya pada hari kiamat? Dimana kewajiban anda kepada kami semenjak anda menyaksikan kami?!
Maka seorang laki-laki pemberi nasehat tadi berkata, ”Aku berpaling dari mereka dan ketika itu aku merasa gembira bercampur sedih. Gembira sebab mereka terang-terangan bertaubat dan ingin beristiqomah dalam ketaatan. Sedih karena kelalaianku dan orang-orang selainku, meskipun memiliki minim ilmu untuk menunaikan nasehat kepada orang-orang yang butuh, walaupun secara dhohirnya mereka seolah akan menolak dan tidak menerimanya!!”
Orang ketiga bercerita tentang dirinya, ”Aku pergi ke negeri Afrika dan aku berjalan mengelilingi daerah-daerahnya. Wilayah daratannya dikelilingi oleh tumbuh-tumbuhan dan berbagai macam hutan. Diantara keduanya terdapat pemandangan indah dan kondisi alam yang menakjubkan sehingga setiap insan tak bosan dan jenuh menyaksikannya.
Ditengah-tengah hutan yang dipenuhi tanaman disamping kanan dan kiri, terdapat sebuah bangunan menjulang tinggi nan indah. Terlintas dihati kecilku, sesungguhnya istana ini milik pemerintah atau salah seorang yang kaya raya! Akan tetapi dugaanku salah. Saat aku mendekat, nampaklah roman wajahnya, hingga jelas bagiku bahwa bangunan megah tersebut adalah sebuah gereja!! Pemimpin gereja tersebut adalah seorang yang tua renta berumur sekitar delapan puluh tahun. Ia hidup sebatang kara di ruang kecil berukuran dua puluh meter persegi di samping gereja di daerah yang sangat asing. Ditengah-tengah hutan tersebut banyak binatang buas, pencuri dan perampok. Diruang tersebut tidak terdapat fasilitas dan sarana prasarana modern. Tidak ada telepon, listrik, dan air. Bahkan anda tidak akan dapat melihat berbagai pelayanan harian baginya!!
Bangunan besar itu adalah sebuah gereja dimana setiap pagi dan petang ia bersunguh-sunguh menyeru setiap orang menuju kepadanya!! Kemudian aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, siapakah yang membayar dan membiayai seorang misionaris hingga ia tetap berada di sini, di ruangan kecil, di tengah-tengah ancaman, binatang buas pun siap menerkam, serta senantiasa dihinggapi kecemasan dan ketakutan selama empat puluh tahun secara terus menerus?! Jawaban pertanyaan tersebut kita serahkan kepada rasa cemburu keimanan anda dan akal sehat anda?!
Yang terakhir, kami suguhkan sebuah kisah salah seorang da’i terhadap apa yang ia lihat dan ia dengar. Ia berkata, ”Aku mengadakan sebuah perjalanan ke salah satu negeri Afrika, tepatnya di salah satu desa terpencil yang sangat membutuhkan pelayanan, walaupun sangat sederhana, ditambah dengan wabah penyakit menular di sana. Aku melihat salah seorang wanita tua, bukan seorang laki-laki atau pemuda, usianya mencapai enam puluh tahun!! Ia sebatang kara yang hidup bersama dengan penduduk desa yang ia tempati. Akan tetapi dari raut muka dan warna kulitnya mengabarkan kepada kita bahwa ia adalah kelahiran Eropa. Maka aku tahu bahwa ia datang sebagai misionaris dan hendak medakwahkan agamanya yang batil.
Aku sangat kagum dan heran terhadap aspek kegigihan dan pengorbanannya yang sangat luar biasa, sedikit sekali kita jumpai pada kebanyakan da’i kaum Muslimin. Aku ingin menyampaikan sebuah pertanyaan yang sifatnya provokasi dan rasa ingin tahu. Aku bertanya kepadanya untuk meminta penjelasan. Kapan anda meninggalkan daerah ini untuk pergi ke negara anda? Jawabannya membuat aku terkejut seakan-akan seperti sebuah merupakan yang berkata, ”Kuburku berada disini!” (Ila man hajabathu as-suhb, ‘Abd al-Malik al-Qasim, hlm. 7)
Saudaraku kaum muslimin....
Setelah kita membaca beberapa kisah perjuangan dakwah di atas dan semisalnya. Di hadapan sebuah ”surat” (risalah) kecil ini. Kami suguhkan sebagian pertanyaan sebagai cambuk bagi kita supaya bangkit, sebagai pengingat akan kewajiban kita yang begitu agung nan mulia, supaya kita tidak terlena dengan pesona dunia yang fana.
· Apakah kita sudah menunaikan zakat ilmu dan pemahaman Islam kita meskipun sedikit?
· Berapa banyak orang yang telah masuk Islam lewat tangan kita atau mendapat hidayah atau istiqamah sebagai anugrah dari Allah melalui jerih payah kita?
· Apa yang telah kita suguhkan bagi kaum Muslimin disini atau seluruh tempat untuk mengajar dan membimbing, menolong, mengikat tali persaudaraan se-iman, membantu mereka dengan bantuan yang bersifat moril dan materil?
· Apakah cukup bagi kita dengan hanya memiliki sifat kesalehan diri semata, sementara melupakan kesalehan untuk orang lain dengan berdakwah kepada mereka?
· Apakah kita termasuk kategori dari orang-orang yang tidak menunaikan kewajiban dakwah, kecuali hanya sebatas pekerjaan dan tugas dakwah bersifat formal saja?
· Berapa persenkah perhatian kita terhadap tugas dakwah, di-bandingkan perhatian kita terhadap pekerjaan dan perkara lainnya?
Saudaraku se-Islam....
Mudah-mudahan anda memahami dengan benar realita dan pertanyaan-pertanyaan yang disuguhkan diatas. Sesungguhnya setiap Muslim memiliki tugas lain selain dari tugas yang sudah diperintahkan Allah kepadanya, berupa mentauhidkan Allah, beribadah hanya kepada-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menunaikan sebagian dari rukun islam dan rukun iman yang lain.
Ia adalah tugas agung, bahkan dengannya Allah memulaikan para pengembanannya. Mereka adalah para nabi, rasul, orang shaleh dan reformis yang terdapat dalam sejarah yang telah berlalu di berbagai tempat. Warisan agung dan besar menyebabkan para nabi berestavet mengemban tugas ini. Yaitu menyebarkan dan mengajarkan ilmu, memerintahkan yang baik dan mencegah kemungkaran, menyeru kepada jalan Allah, menyampaikan agama ini bagi orang-orang yang butuh, haus dan belum mengetahui ajaran Islam, prinsip-prinsip Islam, dan pokok-pokoknya di berbagai penjuru dunia. Tugas yang akan menyelamatkan pelakunya dari neraka jahanam dan siksa di akhirat.
Allah berfirman:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Fushshilat: 33)
Syaikh al-Qasimiy berkata:
“Tak ada seorangpun yang lebih baik perkataannya daripada orang yang mengajak atau menyeru umat manusia agar menyembah Allah. Dia adalah orang shaleh yang mau menjalankan perintah Allah, dan dia adalah seorang muslim menghadapkan wajahnya hanya kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya.” (Tafsir al-Qasimiy: 14/273)
0 komentar:
Posting Komentar